Rabu, 13 Mei 2009

Menguji Komitmen Pengadilan Lewat Pos Bantuan Hukum

Kabarnya Mahkamah Agung pernah mengeluarkan surat yang melarang penggunaan alamat pengadilan negeri sebagai alamat pos bantuan hukum. Makin menjauhkan akses masyarakat miskin terhadap bantuan hukum cuma-cuma.
Pertengahan 2008, areal ruang merokok di lantai 2 Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Pria berusia sekitar 20 tahun itu masih terus menghisap sebatang rokok. Sesekali sambil menerawang, ia menceritakan kehadirannya di pengadilan itu. “Saya di sini lagi nungguin sidang bapak saya mas,” kata dia membuka percakapan dengan hukumonline.

Secara runtut dia menuturkan bagaimana bapaknya ditangkap polisi atas tuduhan pasal kesusilaan dan bagaimana jaksa penuntut umum meminta uang untuk memuluskan persidangan. “Bapak saya nggak pake pengacara mas. Bingung mau cari di mana dan bayarnya pake apa.”

Mata pria itu sempat memendarkan semangat baru ketika hukumonline menceritakan adanya kewajiban bagi advokat untuk memberikan bantuan hukum secara gratis. Di tambah lagi dengan kebiasaan pengadilan yang menyediakan ruangan pos bantuan hukum untuk menerima kasus yang menimpa masyarakat tak mampu. “Kalau di sini ada di mana ya mas pos apa itu tadi?” tanyanya.

“Coba tanya ke pegawai di sini. Berapa bulan saya meliput di sini emang nggak pernah ngelihat ada pos bantuan hukum di pengadilan ini,” jawab hukumonline. “Oh gitu ya mas. Nanti saya tanya.”

Hukumonline tak pernah bertemu lagi dengan pria itu. Namun nampaknya pria itu harus menelan pil pahit untuk mencari pos bantuan hukum. Pasalnya, berdasarkan pantauan hukumonline di wilayah Jakarta dan sekitarnya, saat ini yang tak mempunyai ruangan pos bantuan hukum hanya PN Jakarta Pusat dan PN Tangerang.

Ketua PN Jakarta Pusat Andriani Nurdin membenarkan ketiadaan pos bantuan hukum (posbakum). “Katanya dulu pernah ada ruangan posbakum di sini, tapi sejak keluar surat dari Mahkamah Agung, ruangan itu tak ada lagi. Kalau tidak salah saat itu Ketuanya (PN Jakarta Pusat, red) Pak Cicut atau Pak I Made Karna,” kata Andriani kepada hukumonine di ruang kerjanya, awal Mei lalu.

Andriani lupa dalam bentuk apa Mahkamah Agung mengeluarkan kebijakan pelarangan penggunaan alamat pengadilan sebagai alamat posbakum. “Saya lupa mas. Kalau nggak salah SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung). Yang pasti itu berlaku untuk seluruh pengadilan di Indonesia.”

Ricardo Simanjuntak, advokat yang kerap menangani perkara kepailitan membenarkan pernyataan Andriani. Namun ia juga mengaku lupa dengan bentuk apa MA mengeluarkan kebijakan itu. “Saat itu MA khawatir ada penyalahgunaan alamat pengadilan oleh oknum yang tak bertanggung jawab.”

Mahkamah Agung melalui juru bicaranya, Hatta Ali mengaku tak tahu-menahu perihal kebijakan pelarangan Posbakum itu. Kalaupun ada, ia memakluminya. “Masa ada alamat yang sama dengan kantor pengadilan?”

Upaya hukumonline menelusuri surat itu melalui Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung pun tak membuahkan hasil. “Bukan SEMA kali?” ujar seorang staf yang tak berhasil menemukan barang yang dimaksud.

Rumah Keadilan
Advokat senior, Todung Mulya Lubis mengaku baru mendengar kebijakan MA ini. Jika benar, ia menyayangkan sikap MA yang tak terkesan mendukung pemberian bantuan hukum secara cuma-cuma ini.

Pengadilan, kata Todung, seyogianya menjadi rumah keadilan bagi pencari keadilan. “Bukan menjadi tempat menghukum seseorang. Makanya harus diimbangi dengan penyediaan sarana dan fasilitas yang memudahkan seseorang untuk mendapatkan bantuan hukum,” kata Todung, di Jakarta (6/5).

Pendapat senada dilontarkan Andriani. Menurut dia, idealnya tiap pengadilan memiliki posbakum. Hal ini penting agar pengadilan bisa cepat menunjuk seorang pengacara bagi terdakwa yang tak mampu. “Kalau sekarang, hakim bingung menunjuk pengacara untuk memberikan bantuan hukum.”

Selain untuk pembelaan terdakwa, posbakum juga efektif untuk tepat masyarakat berkonsultasi masalah hukum. Kini, tugas itu ada berada di pundak Ketua Pengadilan Negeri. Namun, Andriani memprediksi peran ketua pengadilan tak akan se-efektif posbakum. Sebabnya, seorang ketua pengadilan juga harus mengurus segala hal yang mencakup penyelenggaraan pengadilan.

Lain lagi dengan Ricardo. Meski mengakui peran posbakum sebagai pemberi bantuan hukum cuma-cuma, ia masih tetap berharap agar posbakum tak menggunakan alamat yang sama dengan pengadilan. “Tinggal pikirkan bagaimana caranya menentukan alamat posbakum untuk berkorespodensi.”